top of page

Menjadi Orang Tua itu Ibarat Juggling!

Updated: Mar 13

Parenting is like learning to juggle, it is not about being a circus pro but about not dropping all the balls


Saya ingat  pernah menghadiri pesta ulang tahun anak seorang kerabat. Salah satu hiburan yang disajikan adalah badut yang melakukan atraksi juggling. Sang badut benar lihai, untuk lima bola, tidak ada yang jatuh. Berhasil ditangkap tepat waktu. Semua bersorak, saya tertegun.


Tertegun? iya. Saya tiba-tiba berpikir tentang keseimbangan luar biasa yang dimiliki Badut. Rasanya tempo jatuh bola terprediksi dan hebatnya lagi, ia sambil tersenyum. Tentu dibalik keseimbangan itu ada kerja keras, latihan dan ada ratusan simulasi dengan beratus kali bola terjatuh. 


Jika bola itu adalah satu dan lain hal dalam hidup, bisakah kita cepat, tepat, cekatan, lincah, singkat kata, bisakah kita seimbang? Dan bisakah kita sambil tersenyum? Saya kira, seperti sang badut, keseimbangan itu juga bisa kita peroleh dengan konsisten berlatih. 


Sejak menjadi orang tua, bagi saya semua hal adalah baru. Beberapa orang tua yang saya kenal juga mengamini. Baik anak pertama, kedua, ketiga...serupa tapi tak sama. Selalu seperti baru. 

Putra saya, berusia 4 tahun sedang berkembang dengan rasa ingin tahunya yang tinggi. Usia yang penuh pertanyaan yang mengundang kerut. Beberapa waktu lalu dia bertanya "Kenapa kita harus meninggal? Apakah bisa tidak meninggal?" Setelah digali, ternyata dia tidak mau dikubur.  Butuh lebih dari 3 hari menjelaskan  konsep kematian kepada anak kecil yang sudah mulai tidak puas dengan jawaban "Ketika mati kita ke Surga dan bertemu Tuhan". Besok hari, pertanyaan serupa tentu akan menguap.


Kembali ke aksi juggler dalam kehidupan. Saya kali ingin melihat dari sudut sebagai orang tua. Banyak hal baru sejak kehidupan pertama anak kami. Melihat manusia kecil itu bertumbuh dan berkembang sungguh pengalaman penuh syukur dan penuh tanya "apakah saya bisa?" dan penuh harap "semoga saya bisa."


Tidak jauh dengan badut, berlatih dan belajar adalah salah satu kunci. Sama halnya dengan badut yang mempelajari ketukan untuk tiap bola, kita -orang tua- juga belajar dari setiap perkembangan anak. Seperti badut yang mungkin mencatat rekor bola tidak jatuh, kita pun pelan-pelan mulai belajar: Oh, dia suka tidur sambil dikelonin, besoknya tidur jika ditimang, besoknya lagi akan tidur jika ditepuk pantatnya.. tap.. tap.. tap. Untuk satu  soal tidur,  ada beragam solusi dan kita mulai terbiasa. Satu bola berhasil kita tangkap.


Selain tidur,  ada juga pola makan menjadi tantangan, terutama jika anak kita datang dengan agenda gerakan tutup mulut. Rasa-rasanya berbagai menu menarik pun tidak dapat menembus pertahan anak. Sekali tutup mulut, tetap tutup mulut. Acuh terhadap sang ibu yang mulai putus asa. Tetapi itu tidak berlangsung lama, karena sebagai ibu, kita selalu 1000 langkah lebih maju. Dari segala jenis rayuan hingga (sedikit?) ancaman kita berhasil membuat anak kembali makan. Kini, dua bola sekali jalan, bisa.


Di era ini, screen time juga menjadi materi debat. Jika dilarang Handphone ibunya, dia akan minta handphone Bapaknya.. atau mulai meminta menonton TV. Belakang saya mulai bisa menerapkan bagaimana mengatakan tidak tanpa mengatakan tidak. Saya mulai dengan kesepakatan, ketika sudah waktu untuk tidur dan anak masih mau menonton akan ada waktu 2 kali 5 menit. Bagi saya, ini lebih ampuh dibandingkan terapi menghitung dengan nada suara yang semakin meninggi. Satu.... Dua.... Dua setengah.....  Menggunakan  metode alarm lima menit utuh tanpa tipu-tipu bagi saya mujarab. Jangan lupa dua kali.  Begini, 3 bola rasanya tidak sulit.


Perkara yang paling membuat tidak tenang adalah anak sakit. Setiap Ibu mungkin pernah membatin "Biar mama saja yang sakit, Nak.. asal jangan kamu." Ketika anak sakit, ibu lebih sakit, karena seringkali kami, para ibu, dihadapkan dengan kekhawatiran yang muncul serupa rasa bersalah. Terkadang untuk demam pertama dan demam yang kesekian, teratasi dengan paracetamol dan vitamin. Namun, kekhawatiran di demam pertama ataupun demam kesekian tidak terukur, tidak dapat saya deskripsikan dengan kata-kata. Ini bola yang penuh tantangan, yang ditangkap dengan hati-hati. Bola keempat, semoga dapat.


Jika bola itu sama, baik ukurannya ataupun beratnya, segala hal dapat terprediksi. Nyata menjadi orang tua ialah kita dihadapkan dengan hal tak terduga setiap harinya. Sesuatu yang kita jaga adalah sesuatu yang hidup. Berkembang dan bertumbuh.  Seperti seorang jongleur yang belajar melalui latihan dan mungkin menjatuhkan beberapa bola di sepanjang jalan,  kita, orangtua belajar dan berkembang melalui pengalaman, menerima bahwa kesalahan akan terjadi tetapi berusaha untuk menjaga segalanya tetap berjalan sebaik mungkin. Empat bola ini hanya sepersekian dari bola-bola lainnya yang akan tiba pada waktunya.


Ini bukan soal menjadi  orang tua yang sempurna, yang dapat mengatasi segala hal.  Ini tentang kita yang belajar berkembang, juga dari kesalahan kita, agar menjadi lebih baik, untuk seimbang dan dapat menjalaninya dengan senyum dan penuh syukur. 


Selamat belajar dari  bola-bolamu. 

Kita pasti bisa. 


Menjadi orang tua itu ibarat juggling
Menjadi orang tua itu ibarat juggling! Tidak perlu sempurna. Yang paling penting ialah tetap menjaga agar tidak semua bola jatuh ke lantai!


Romana, dari Arahope.


45 views0 comments

Recent Posts

See All
bottom of page